Apa persamaan antara sebuah
adegan pertarungan brutal dengan jurus-jurus seru, pertempuran antar robot
raksasa dan monster raksasa di tengah kota, dan tampilan seorang gadis imut
dengan rok 60 cm di atas lutut yang sering tersingkap secara ‘tidak sengaja’?
Ketiganya dapat dikategorikan sebagai fan
service, karena memang dengan sengaja ditujukan untuk memuaskan konsumen.
Bahkan tidak jarang ketiganya ada berbarengan dalam sebuah media sekunsial yang
sama.
Walaupun demikian, seiring dengan perkembangan media sekuensial
(terutama komik dan animasi, atau bahkan lebih spesifik: anime dan manga) pemaknaan
fan service mengalami penyempitan
menjadi cenderung berkonotasi sensual, bahkan seksual. Bahkan seringkali fan service bisa jadi tidak ada
hubungannya sama sekali dengan plot cerita secara keseluruhan, namun murni
hanya sebagai eye candy yang
memanjakan mata pembaca dan penonton.
Secara sepintas, fan service
dapat didefinisikan sebagai ‘visualisasi yang dengan sengaja ditampilkan untuk
menyenangkan para pemirsa’. Dari segi tata bahasa, fan service lebih dekat ke konsep ecchi yang bisa dikatakan lebih ‘nakal’ namun tetap ‘lembut’ dan ‘sopan’. Pada dasarnya bentuk fan service sebagai elemen relaksasi, komikal,
komedi, dan humor pun lebih kental ketimbang hentai yang tampilannya lebih provokatif, eksplisit, dan vulgar.
Hal ini dimulai bahkan sebelum
tata sekuensial tersusun, dalam bentuk desain karakter dan lingkungannya. Desain
(kostum) karakter yang menonjolkan bagian tubuh (baik karakter lelaki maupun
perempuan) menjadi bentuk fan service
paling awal yang menerpa pembaca dan penonton. Semakin hard, semakin banyak bagian tubuh sang karakter yang diperlihatkan
dan sebaliknya. Tak jarang bahkan pemirsa menyukai soft fan service dalam visualisasi karakter favorit mereka dalam
tata busana yang berbeda dengan yang biasa dipakainya.
Perlu dicermati bahwa dimensi waktu fan service yang hanya terjadi ‘sesaat’: sekilas lintas, dan oleh
karenanya menjadi estetis (walau tentu saja, terminologi ‘estetis’ di sini
selalu tetap dapat kita diskusikan lebih lanjut :) ).
Oleh karenanya, fan service di sini
tidak dimaksudkan untuk membangkitkan hasrat (baca: libido), namun lebih cenderung
kepada fungsi katarsis untuk beristirahat sejenak melepaskan ketegangan akibat
konstruksi dramatik yang tersusun (dan oleh karenanya konteks humor menjadi
relevan dalam adegan fan service).
Namun demikian, sekali lagi, pada perkembangannya tak dapat disangkal bahwa
ternyata hal ini menjadi cenderung kepada hal-hal yang bersifat sensual (bahkan
seksual).
Pemirsa lelaki dan perempuan tentu memiliki hasrat tersendiri yang hendak
dipuaskan oleh media yang digunakannya, baik media cetak maupun media
elektronik. Walaupun target awalnya adalah pemirsa remaja, perbedaan usia juga
menentukan perbedaan tingkat fan service.
Semakin berumur seorang pemirsa, sewajarnya secara naluriah ia akan
menghasratkan bentuk fan service yang
lebih eksplisit.
Adapun jenis-jenis fan
service yang sering dan biasa kita temui (namun tentu saja bukan semuanya) dalam media sekuensial komik dan animasi (terurama
manga dan anime dapat digeneralisasikan sebagai berikut:
- Panty Shot / Panchira: visualisasi sekilas
celana dalam tokoh (lebih sering tokoh perempuan), yang bisa jadi merupakan
salah satu bentuk fan service paling
mendasar dalam media sekuensial
- Big Bouncy Boobs: visualisasi payudara
perempuan dengan ukuran yang... melawan hukum gravitasi, termasuk
pergerakannya.
- Accidental Pervert: saat secara
tidak sengaja – sekali lagi, TIDAK SENGAJA – seorang tokoh menyentuh bagian
vital tokoh lainnya (lawan jenis atau sesama jenis) dan atau melihat tokoh lain
tersebut sedang dalam keadaan tanpa busana.
- Bathing Scene: walau terkadang
adegan mandi dan atau berenang ini menjadi penting dalam pengembangan karakter,
namun seringkali juga menjadi justifikasi bagi fan service.
- Changing Scene: adegan berganti
pakaian (di kamar, ruang ganti, atau lokasi lain) yang memamerkan tubuh tokoh
sebagian atau sepenuhnya.
- Convenient Censorship: apakah
berbentuk uap air panas di pemandian umum / shower,
rambut yang jatuh menutupi dada, atau kilatan cahaya sering digunakan dalam anime dan manga untuk memperlihatkan tokoh dalam keadaan tanpa busana sambil
tetap ‘berusaha’ menutupi bagian-bagian penting tubuhnya.
- Wardrobe Malfunction: saat pakaian
yang dikenakan robek, merosot, dan lain-lain.
Tentu saja bentuk fan service
yang ditujukan kepada pemirsa lelaki akan berbeda dengan bentuk yang ditujukan
kepada pemirsa perempuan (misalnya: tokoh lelaki yang digambarkan setengah
bugil dengan pose yang ... ‘menantang’, dua orang tokoh lelaki yang secara TIDAK
SENGAJA bersentuhan bibir atau menyentuh bagian vital lelaki lainnya) , walau
pada kenyataannya bisa saja hal ini berlaku lebih luas lagi: pemirsa lelaki
bisa saja menyukai bentuk fan service
yang ditujukan kepada pemirsa perempuan, demikian juga sebaliknya. Apalagi jika
ditambahkan elemen humor ke dalamnya.
Dalam ‘kutub’ media sekuensial Barat dan Timur, rasanya komik dan
animasi Barat (Amerika dan Eropa) yang memberikan fan service khusus bagi pemirsa perempuan tidak sebanyak di Timur
(terutama Jepang, di mana sebuah seri anime
dan manga bisa populer karena
kuantitas dan kualitas fan service-nya)...
dan tentunya (sesuai dengan teori komunikasi Uses and Gratification), sah-sah saja jika kita mengkonsumsi media
sekuensial komik dan animasi bukan karena ceritanya namun karena kita
mengharapkan fan service yang
terkandung di dalamnya.
Sekali lagi, jika kita kembalikan kepada makna dasar dari terminologi fan service, apa pun yang bertujuan untuk memuaskan pembaca dapat kita
kategorikan di dalamnya... termasuk visualisasi gadget, gimmick dll yang
memanjakan dahaga pemirsa akan aplikasi teknologi canggih dalam kehidupan
sehari-hari. Contoh sederhana, teknologi layar sentuh yang mendahului zaman dan
sekarang bisa kita nikmati.
Seberapa penting kita menggunakan fan
service dalam karya kita? Tentunya standar kekaryaan stiap kreator
berbeda-beda, namun fungsi dasar fan
service tetap tak berubah: sebagai ‘bumbu penyedap’ untuk meningkatkan kecintaan
pemirsa terhadap karya kita dan menjadikan karya kita senantiasa dinanti. Saat
adegan mandi di shower menjadi
standar, kreator yang jeli bisa menampilkan pergolakan emosional sang tokoh
pada saat yang bersamaan.
Pada akhirnya, terlalu banyak fan
service dalam media sekuensial mainstream
ibarat sebuah masakan dengan terlalu
banyak bumbu penyedap: tak hanya kehilangan identitas rasa aslinya, namun
juga kehilangan hakikat penciptaannya... kecuali jika yang kita jual dalam
karya kita adalah sensualitas, bahkan seksualitas. Apakah kita akan membuat
sebuah karya keren yang ada fan service-nya,
atau excessive fan service-lah yang
menjadi sajian utama karya kita?
Apapun pilihannya, wujudkanlah dalam bentuk karya... bukan hanya
wacana, apalagi drama. Sebuah karya
yang bagus – dengan atau tanpa fan
service – akan jauh lebih bermakna ketimbang sensasi (buatan) di
seputarnya.