Quote of the Day

Tuesday, January 21, 2014

FENOMENA FAN SERVICE DALAM MEDIA SEKUENSIAL MANGA DAN ANIME: ANTARA KEBUTUHAN DAN KEINGINAN MEMENUHI HASRAT

Apa persamaan antara sebuah adegan pertarungan brutal dengan jurus-jurus seru, pertempuran antar robot raksasa dan monster raksasa di tengah kota, dan tampilan seorang gadis imut dengan rok 60 cm di atas lutut yang sering tersingkap secara ‘tidak sengaja’? Ketiganya dapat dikategorikan sebagai fan service, karena memang dengan sengaja ditujukan untuk memuaskan konsumen. Bahkan tidak jarang ketiganya ada berbarengan dalam sebuah media sekunsial yang sama.


Walaupun demikian, seiring dengan perkembangan media sekuensial (terutama komik dan animasi, atau bahkan lebih spesifik: anime dan manga) pemaknaan fan service mengalami penyempitan menjadi cenderung berkonotasi sensual, bahkan seksual. Bahkan seringkali fan service bisa jadi tidak ada hubungannya sama sekali dengan plot cerita secara keseluruhan, namun murni hanya sebagai eye candy yang memanjakan mata pembaca dan penonton.

Secara sepintas, fan service dapat didefinisikan sebagai ‘visualisasi yang dengan sengaja ditampilkan untuk menyenangkan para pemirsa’. Dari segi tata bahasa, fan service lebih dekat ke konsep ecchi yang bisa dikatakan lebih ‘nakal’ namun tetap  ‘lembut’ dan ‘sopan’. Pada dasarnya bentuk fan service sebagai elemen relaksasi, komikal, komedi, dan humor pun lebih kental ketimbang hentai yang tampilannya lebih provokatif, eksplisit, dan vulgar.

Hal ini dimulai bahkan sebelum tata sekuensial tersusun, dalam bentuk desain karakter dan lingkungannya. Desain (kostum) karakter yang menonjolkan bagian tubuh (baik karakter lelaki maupun perempuan) menjadi bentuk fan service paling awal yang menerpa pembaca dan penonton. Semakin hard, semakin banyak bagian tubuh sang karakter yang diperlihatkan dan sebaliknya. Tak jarang bahkan pemirsa menyukai soft fan service dalam visualisasi karakter favorit mereka dalam tata busana yang berbeda dengan yang biasa dipakainya.

Perlu dicermati bahwa dimensi waktu fan service yang hanya terjadi ‘sesaat’: sekilas lintas, dan oleh karenanya menjadi estetis (walau tentu saja, terminologi ‘estetis’ di sini selalu tetap dapat kita diskusikan lebih lanjut :) ). Oleh karenanya, fan service di sini tidak dimaksudkan untuk membangkitkan hasrat (baca: libido), namun lebih cenderung kepada fungsi katarsis untuk beristirahat sejenak melepaskan ketegangan akibat konstruksi dramatik yang tersusun (dan oleh karenanya konteks humor menjadi relevan dalam adegan fan service). Namun demikian, sekali lagi, pada perkembangannya tak dapat disangkal bahwa ternyata hal ini menjadi cenderung kepada hal-hal yang bersifat sensual (bahkan seksual).

Pemirsa lelaki dan perempuan tentu memiliki hasrat tersendiri yang hendak dipuaskan oleh media yang digunakannya, baik media cetak maupun media elektronik. Walaupun target awalnya adalah pemirsa remaja, perbedaan usia juga menentukan perbedaan tingkat fan service. Semakin berumur seorang pemirsa, sewajarnya secara naluriah ia akan menghasratkan bentuk fan service yang lebih eksplisit. 

Adapun jenis-jenis fan service yang sering dan biasa kita temui (namun tentu saja bukan semuanya) dalam media sekuensial komik dan animasi (terurama manga dan anime dapat digeneralisasikan sebagai berikut:

  • Panty Shot / Panchira: visualisasi sekilas celana dalam tokoh (lebih sering tokoh perempuan), yang bisa jadi merupakan salah satu bentuk fan service paling mendasar dalam media sekuensial
  • Big Bouncy Boobs: visualisasi payudara perempuan dengan ukuran yang... melawan hukum gravitasi, termasuk pergerakannya.
  • Accidental Pervert: saat secara tidak sengaja – sekali lagi, TIDAK SENGAJA – seorang tokoh menyentuh bagian vital tokoh lainnya (lawan jenis atau sesama jenis) dan atau melihat tokoh lain tersebut sedang dalam keadaan tanpa busana.
  • Bathing Scene: walau terkadang adegan mandi dan atau berenang ini menjadi penting dalam pengembangan karakter, namun seringkali juga menjadi justifikasi bagi fan service.
  • Changing Scene: adegan berganti pakaian (di kamar, ruang ganti, atau lokasi lain) yang memamerkan tubuh tokoh sebagian atau sepenuhnya.
  • Convenient Censorship: apakah berbentuk uap air panas di pemandian umum / shower, rambut yang jatuh menutupi dada, atau kilatan cahaya sering digunakan dalam anime dan manga untuk memperlihatkan tokoh dalam keadaan tanpa busana sambil tetap ‘berusaha’ menutupi bagian-bagian penting tubuhnya.
  • Wardrobe Malfunction: saat pakaian yang dikenakan robek, merosot, dan lain-lain.


Tentu saja bentuk fan service yang ditujukan kepada pemirsa lelaki akan berbeda dengan bentuk yang ditujukan kepada pemirsa perempuan (misalnya: tokoh lelaki yang digambarkan setengah bugil dengan pose yang ... ‘menantang’, dua orang tokoh lelaki yang secara TIDAK SENGAJA bersentuhan bibir atau menyentuh bagian vital lelaki lainnya) , walau pada kenyataannya bisa saja hal ini berlaku lebih luas lagi: pemirsa lelaki bisa saja menyukai bentuk fan service yang ditujukan kepada pemirsa perempuan, demikian juga sebaliknya. Apalagi jika ditambahkan elemen humor ke dalamnya.

Dalam ‘kutub’ media sekuensial Barat dan Timur, rasanya komik dan animasi Barat (Amerika dan Eropa) yang memberikan fan service khusus bagi pemirsa perempuan tidak sebanyak di Timur (terutama Jepang, di mana sebuah seri anime dan manga bisa populer karena kuantitas dan kualitas fan service-nya)... dan tentunya (sesuai dengan teori komunikasi Uses and Gratification), sah-sah saja jika kita mengkonsumsi media sekuensial komik dan animasi bukan karena ceritanya namun karena kita mengharapkan fan service yang terkandung di dalamnya.

Sekali lagi, jika kita kembalikan kepada makna dasar dari terminologi fan service, apa pun yang bertujuan untuk memuaskan pembaca dapat kita kategorikan di dalamnya... termasuk visualisasi gadget, gimmick dll yang memanjakan dahaga pemirsa akan aplikasi teknologi canggih dalam kehidupan sehari-hari. Contoh sederhana, teknologi layar sentuh yang mendahului zaman dan sekarang bisa kita nikmati.

Seberapa penting kita menggunakan fan service dalam karya kita? Tentunya standar kekaryaan stiap kreator berbeda-beda, namun fungsi dasar fan service tetap tak berubah: sebagai ‘bumbu penyedap’ untuk meningkatkan kecintaan pemirsa terhadap karya kita dan menjadikan karya kita senantiasa dinanti. Saat adegan mandi di shower menjadi standar, kreator yang jeli bisa menampilkan pergolakan emosional sang tokoh pada saat yang bersamaan.

Pada akhirnya, terlalu banyak fan service dalam media sekuensial mainstream ibarat sebuah masakan dengan terlalu banyak bumbu penyedap: tak hanya kehilangan identitas rasa aslinya, namun juga kehilangan hakikat penciptaannya... kecuali jika yang kita jual dalam karya kita adalah sensualitas, bahkan seksualitas. Apakah kita akan membuat sebuah karya keren yang ada fan service­-nya, atau excessive fan service­-lah yang menjadi sajian utama karya kita?

Apapun pilihannya, wujudkanlah dalam bentuk karya... bukan hanya wacana, apalagi drama. Sebuah karya yang bagus – dengan atau tanpa fan service – akan jauh lebih bermakna ketimbang sensasi (buatan) di seputarnya. 

No comments:

Post a Comment